Kamis, 30 Mei 2013

Remaja dan perilaku beresiko


Remaja dan Perilaku Beresiko
Apa yang telah kita lakukan pada teman-teman, anak-anak atau keluarga yang telah distigmatisasi sebagai anak dengan seperangkat perilaku deviasi? Anak dan remaja dengan masalah kecanduan, perilaku seks tidak aman, dan remaja yang terkena Human Immuno-deficiency Virus-Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS). Perilaku menyimpang atau deviasi pada anak kemudian seorang anak kerapkali dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna. Persoalan yang kemudian muncul adalah perilaku anak yang semakin sulit dikendalikan karena adanya labeling yang dilekatkan kapadanya mereka kemudian sulit untuk bangkit bila tidak didukung oleh lingkungan sosial yang memadai. Mereka dengan perilaku menyimpang dianggap sesuatu yang merugikan seolah tanpa arti dalam lingkungan sosial mereka. Remaja adalah masa depan dan generasi pelanjut yang dapat menorehkan sejuta catatan prestasi di negeri ini, jadi mereka harus diangkat bukan di abaikan.
Di usia remaja, perubahan biologis, psikologis, dan sosial terjadi dengan pesat. Hal ini menuntut perubahan perilaku remaja untuk menyesuaikan diri dengan kondisi mereka saat ini. Pada beberapa remaja, proses penyesuaian ini bisa berlangsung tanpa masalah berarti karena mereka berhasil mengenali identitas diri dan mendapat dukungan sosial yang cukup. Kedua hal tersebut penting berperan dalam penyesuaian diri remaja. Namun sebagian remaja yang lain dapat mengalami persoalan penyesuaian diri. Kesulitan penyesuaian diri remaja biasanya diawali dengan munculnya perilaku-perilaku yang beresiko menimbulkan persoalan psikososial remaja baik pada level personal maupun sosial. Di Indonesia diketahui sebagian remaja terlibat dalam perilaku-perilaku beresiko terhadap kesehatan mentalnya, seperti: mengebut dan berakibat kecelakaan; kekerasan/tawuran/bullying; kekerasan dalam pacaran; kehamilan yang tidak direncanakan; perilaku seks beresiko; terkena penyakit menular seksual seperti hepatitis dan HIV-AIDS; merokok dan penyalahgunaan alkohol pada usia dini; penggunaan ganja dan zat-zat adiktif lainnya
  Perilaku beresiko remaja membuat mereka sering dicap sebagai anak-remaja bermasalah dan akhirnya mereka diperlakukan secara negatif dari lingkungan sosialnya. Perilaku beresiko remaja adalah bentuk perilaku yang dapat membahayakan kesehatan dan kesejahteraan (well-being) remaja, bahkan beberapa bentuk perilaku beresiko dapat merugikan orang lain.
Perlakuan negatif pada anak-remaja bermasalah dapat terjadi karena disebabkan pemahaman yang kurang tepat atas perilaku beresiko. Sering perilaku beresiko hanya dilihat sebagai akibat kenakalan remaja semata, akibatnya orang segera mengambil keputusan untuk ”memperbaiki” si remaja bermasalah. Perilaku beresiko remaja yang disebabkan oleh gangguan penyesuaian diri muncul karena dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri remaja (internal) maupun faktor dari luar diri (eksternal).
Faktor internal meliputi: 1) Problem psikologis dan sosial yang sedang dihadapi. Menghadapi masa remaja yang penuh tantangan membuat remaja rentan menghadapi tekanan, akibatnya dapat muncul persoalan psikologis seperti stress dan depresi. Belum lagi jika ditambah remaja dengan kebutuhan khusus dan gangguan psikopatologis. 2) Kontrol diri yang lemah: Remaja yang tidak terbiasa mengendalikan diri dan mempertahankan usaha untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, cenderung mudah terlena untuk mendapatkan kenikmatan instant dengan melakukan perilaku beresiko, yang justru pada akhirnya malah menambah persoalan baru.
Beberapa faktor eksternal diantaranya adalah: 1) Persoalan keluarga. Pendidikan nilai yang salah di keluarga, problem komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Hubungan orang tua-anak yang kurang harmonis dan otoriter membuat remaja sulit terbuka menyampaikan persoalan yang dihadapinya pada orang tua, akibatnya anak kesulitan menyelesaikan persoalannya dan terjerumus dalam perilaku beresiko. 2) Pengaruh negatif teman sebaya. Sikap dan perilaku teman sebaya yang negatif juga dapat mempengaruhi perilaku remaja. Upaya remaja untuk dapat diterima di kelompok sebayanya membuat mereka mudah terpengaruh dan sulit menolak ajakan teman, bahkan untuk hal yang dapat merugikan diri atau orang di sekitarnya. 3) Pengaruh negatif komunitas. Kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, komunitas yang acuh dan permisif pada pelanggaran dapat membuat remaja lebih rentan terjerumus dalam perilaku beresiko dan menghambat perkembangan diri remaja. 
            Dengan  mengetahui berbagai faktor internal dan eksternal mempengaruhi problem remaja, maka penting kita pahami bahwa penanganannya perlu dilakukan secara menyeluruh. Bukan hanya remaja yang ditarget untuk ”dirubah” tapi juga lingkungan sekitarnya yang juga turut mempengaruhi munculnya perilaku beresiko tersebut. Contohnya: perilaku kecanduan yang disebabkan oleh ketidak-mampuan remaja mengelola stress dari problem keluarga dan tekanan sosial dari teman sebaya, maka harus dihadapi dengan cara mengembangkan kemampuan pengelolaan persoalan keluarga dan sikap asertif pada teman sebaya; dan lebih jauh lagi perlu mempertimbangkan pembuatan kebijakan sosial untuk menghadapi persoalan kecanduan di sekolah dan di masyarakat. Karena tidaklah mungkin menghadapi persoalan perilaku beresiko remaja tanpa koordinasi dan kerjasama antar berbagai pihak yang terlibat, dalam hal ini orang-tua dan keluarga, sekolah, lingkungan rumah, serta masyarakat. 

Bagaimana mencegah perilaku beresiko remaja?
Program kesehatan remaja yang telah banyak dilakukan adalah usaha pencegahan perilaku beresiko remaja, terutama tentang perilaku seks beresiko dan penyalahgunaan zat adiktif. Namun program-program ini lebih banyak bergerak dalam pemberian informasi, berupa penyuluhan dan diskusi tentang masalah kesehatan remaja. Penyuluh biasanya berperan sebagai fasilitator dan narasumber informasi. Sering juga terjadi adalah bentuk dan cara penyampaian informasi kesehatan remaja direduksi dan diseleksi sedemikian rupa oleh pihak sekolah atau orang tua agar pemahaman remaja dianggap ”tidak melanggar norma sosial-religius” di masyarakat. Lebih lanjut, isi informasi juga kadang kurang mempertimbangkan tahapan perkembangan psikologis remaja, akibatnya informasi yang diberikan  belum tentu menyentuh kebutuhan dan tantangan kesehatan reproduksi remaja yang sesungguhnya saat ini.
Remaja terjerumus dalam perilaku beresiko seringkali terjadi bukan karena persoalan kurangnya informasi, namun karena remaja melakukan perilaku yang tidak konsisten dengan sikapnya, contohnya: mengetahui bahwa ia belum siap melakukan perilaku seksual namun ketika diminta oleh pacarnya akhirnya melakukan perilaku seksual. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan informasi atau kelemahan kognitif sehingga mereka tidak mampu berpikir tentang alternatif lain, namun lebih dikarenakan keterbatasan pengalaman sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang kurang tepat. Ketersediaan akses dan informasi yang lengkap dapat mempengaruhi keterampilan remaja dalam mengambil keputusan untuk berperilaku sehat. Remaja perlu memahami bahwa setiap keputusan yang diambilnya akan menghasilkan konsekuensi yang harus ditanggung seumur hidupnya baik secara fisik, psikis dan sosial.
Di era globalisasi ini, akses informasi cukup luas, termasuk informasi tentang berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku beresiko remaja. Oleh karena itu, yang lebih diperlukan oleh remaja bukan sekedar informasi namun lebih penting bagaimana mengembangkan cara-cara pengelolaan diri remaja. Secara personal, program kesehatan remaja dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan pengendalian diri dan perilaku produktif untuk dapat menghadapi perubahan identitas perannya sebagai remaja. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja sebaiknya mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik, atau juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
Selain itu, penting juga mengkondisikan faktor-faktor di luar diri remaja agar dapat mendukung kemampuan pengelolaan diri remaja, seperti, seperti: hubungan dengan orang tua dan teman sebaya. Sebaiknya orangtua juga mau berupaya untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja. Pola asuh dan komunikasi orang-tua dan anak diupayakan menjadi lebih berorientasi pada kebutuhan perkembangan remaja, orang-tua akan berperan sebagai support system bagi si remaja sehingga remaja yang merasa aman dan diterima orang-tuanya akan lebih mampu menghadapi tantangan perubahan masa remaja. Dalam hubungan dengan teman sebaya, remaja perlu mengembangkan ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika sikap dan perilaku teman sebaya atau komunitas tidak produktif atau bahkan dapat merugikan diri dan masa depan remaja. Pada umumya, waktu remaja lebih banyak dihabiskan di sekolah, sehingga lingkungan sekolah juga dapat dipandang sebagai tantangan dunia remaja. Maka sistim pendidikan di sekolah perlu menyeimbangkan perkembangan aspek kognitif dan juga aspek kepribadian agar si remaja lebih mampu mengembangkan keterampilan hidup di sekolah. Lebih lanjut, aspek demografis juga perlu diperhatikan karena kebutuhan kesehatan reproduksi remaja di berbagai wilayah di Indonesia juga dapat berbeda karena dipengaruhi oleh aspek sosial, budaya, serta historis-geografis (perkotaan-pedesaan). Maka perlu juga dipertimbangkan pembuatan kebijakan-kebijakan sosial masyarakat yang fokus pada perbaikan keadaan sosial ekonomi secara mikro dan makro. Secara umum, seluruh uraian ini menekankan bahwa pengembangan program kesehatan remaja harus selalu berpijak pada berbagai faktor kontekstual dan aktual remaja yang menjadi target program kesehatan

Referensi:
Dekovic, M. (1999). Risk and protective factors in the development of problem behavior during adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 28, 667-685.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar