Remaja dan Perilaku Beresiko
Apa yang telah kita lakukan pada
teman-teman, anak-anak atau keluarga yang telah distigmatisasi sebagai anak dengan
seperangkat perilaku deviasi? Anak dan remaja dengan masalah kecanduan,
perilaku seks tidak aman, dan remaja yang terkena Human Immuno-deficiency
Virus-Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS). Perilaku menyimpang
atau deviasi pada anak kemudian
seorang anak kerapkali dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna. Persoalan
yang kemudian muncul adalah perilaku anak yang semakin sulit dikendalikan
karena adanya labeling yang
dilekatkan kapadanya mereka kemudian sulit untuk bangkit bila tidak didukung
oleh lingkungan sosial yang memadai. Mereka dengan perilaku menyimpang
dianggap sesuatu yang merugikan seolah tanpa arti dalam lingkungan sosial
mereka. Remaja adalah masa depan dan generasi pelanjut yang dapat menorehkan
sejuta catatan prestasi di negeri ini, jadi mereka harus diangkat bukan di
abaikan.
Di usia remaja, perubahan
biologis, psikologis, dan sosial terjadi dengan pesat. Hal ini menuntut
perubahan perilaku remaja untuk menyesuaikan diri dengan kondisi mereka saat
ini. Pada beberapa remaja, proses penyesuaian ini bisa berlangsung tanpa
masalah berarti karena mereka berhasil mengenali identitas diri dan mendapat
dukungan sosial yang cukup. Kedua hal tersebut penting berperan dalam
penyesuaian diri remaja. Namun sebagian remaja yang lain dapat mengalami
persoalan penyesuaian diri. Kesulitan penyesuaian diri remaja biasanya
diawali dengan munculnya perilaku-perilaku yang beresiko menimbulkan
persoalan psikososial remaja baik pada level personal maupun sosial. Di
Indonesia diketahui sebagian remaja terlibat dalam perilaku-perilaku beresiko
terhadap kesehatan mentalnya, seperti: mengebut dan berakibat kecelakaan;
kekerasan/tawuran/bullying; kekerasan dalam pacaran; kehamilan yang
tidak direncanakan; perilaku seks beresiko; terkena penyakit menular seksual
seperti hepatitis dan HIV-AIDS; merokok dan penyalahgunaan alkohol pada usia
dini; penggunaan ganja dan zat-zat adiktif lainnya.
Perilaku beresiko remaja membuat mereka sering dicap sebagai
anak-remaja bermasalah dan akhirnya mereka diperlakukan secara negatif dari
lingkungan sosialnya. Perilaku beresiko remaja adalah bentuk perilaku yang
dapat membahayakan kesehatan dan kesejahteraan (well-being) remaja,
bahkan beberapa bentuk perilaku beresiko dapat merugikan orang lain.
Perlakuan negatif pada anak-remaja
bermasalah dapat terjadi karena disebabkan pemahaman yang kurang tepat atas
perilaku beresiko. Sering perilaku beresiko hanya dilihat sebagai akibat
kenakalan remaja semata, akibatnya orang segera mengambil keputusan untuk
”memperbaiki” si remaja bermasalah. Perilaku beresiko remaja yang disebabkan
oleh gangguan penyesuaian diri muncul karena dipengaruhi oleh faktor dari
dalam diri remaja (internal) maupun faktor dari luar diri (eksternal).
Faktor internal meliputi: 1) Problem
psikologis dan sosial yang sedang dihadapi. Menghadapi masa remaja yang
penuh tantangan membuat remaja rentan menghadapi tekanan, akibatnya dapat
muncul persoalan psikologis seperti stress dan depresi. Belum lagi jika
ditambah remaja dengan kebutuhan khusus dan gangguan psikopatologis. 2) Kontrol
diri yang lemah: Remaja yang tidak terbiasa mengendalikan diri dan
mempertahankan usaha untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, cenderung mudah
terlena untuk mendapatkan kenikmatan instant dengan melakukan perilaku
beresiko, yang justru pada akhirnya malah menambah persoalan baru.
Beberapa faktor eksternal diantaranya
adalah: 1) Persoalan keluarga. Pendidikan nilai yang salah di
keluarga, problem komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan
keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Hubungan orang tua-anak
yang kurang harmonis dan otoriter membuat remaja sulit terbuka menyampaikan
persoalan yang dihadapinya pada orang tua, akibatnya anak kesulitan
menyelesaikan persoalannya dan terjerumus dalam perilaku beresiko. 2) Pengaruh
negatif teman sebaya. Sikap dan perilaku teman sebaya yang negatif juga
dapat mempengaruhi perilaku remaja. Upaya remaja untuk dapat diterima di
kelompok sebayanya membuat mereka mudah terpengaruh dan sulit menolak ajakan
teman, bahkan untuk hal yang dapat merugikan diri atau orang di sekitarnya.
3) Pengaruh negatif komunitas. Kemiskinan, kurangnya akses pendidikan,
komunitas yang acuh dan permisif pada pelanggaran dapat membuat remaja lebih
rentan terjerumus dalam perilaku beresiko dan menghambat perkembangan diri
remaja.
Dengan mengetahui berbagai faktor internal dan eksternal mempengaruhi
problem remaja, maka penting kita pahami bahwa penanganannya perlu dilakukan
secara menyeluruh. Bukan hanya remaja yang ditarget untuk ”dirubah” tapi juga
lingkungan sekitarnya yang juga turut mempengaruhi munculnya perilaku beresiko
tersebut. Contohnya: perilaku kecanduan yang disebabkan oleh ketidak-mampuan
remaja mengelola stress dari problem keluarga dan tekanan sosial dari teman
sebaya, maka harus dihadapi dengan cara mengembangkan kemampuan pengelolaan
persoalan keluarga dan sikap asertif pada teman sebaya; dan lebih jauh lagi
perlu mempertimbangkan pembuatan kebijakan sosial untuk menghadapi persoalan
kecanduan di sekolah dan di masyarakat. Karena tidaklah mungkin menghadapi
persoalan perilaku beresiko remaja tanpa koordinasi dan kerjasama antar
berbagai pihak yang terlibat, dalam hal ini orang-tua dan keluarga, sekolah,
lingkungan rumah, serta masyarakat.
Bagaimana mencegah perilaku
beresiko remaja?
Program kesehatan remaja yang
telah banyak dilakukan adalah usaha pencegahan perilaku beresiko remaja,
terutama tentang perilaku seks beresiko dan penyalahgunaan zat adiktif. Namun
program-program ini lebih banyak bergerak dalam pemberian informasi, berupa
penyuluhan dan diskusi tentang masalah kesehatan remaja. Penyuluh biasanya
berperan sebagai fasilitator dan narasumber informasi. Sering juga terjadi
adalah bentuk dan cara penyampaian informasi kesehatan remaja direduksi dan
diseleksi sedemikian rupa oleh pihak sekolah atau orang tua agar pemahaman
remaja dianggap ”tidak melanggar norma sosial-religius” di masyarakat. Lebih
lanjut, isi informasi juga kadang kurang mempertimbangkan tahapan
perkembangan psikologis remaja, akibatnya informasi yang diberikan
belum tentu menyentuh kebutuhan dan tantangan kesehatan reproduksi remaja
yang sesungguhnya saat ini.
Remaja terjerumus dalam perilaku
beresiko seringkali terjadi bukan karena persoalan kurangnya informasi, namun
karena remaja melakukan perilaku yang tidak konsisten dengan sikapnya,
contohnya: mengetahui bahwa ia belum siap melakukan perilaku seksual namun
ketika diminta oleh pacarnya akhirnya melakukan perilaku seksual. Hal ini
terjadi bukan karena keterbatasan informasi atau kelemahan kognitif sehingga
mereka tidak mampu berpikir tentang alternatif lain, namun lebih dikarenakan
keterbatasan pengalaman sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang kurang
tepat. Ketersediaan akses dan informasi yang lengkap dapat mempengaruhi
keterampilan remaja dalam mengambil keputusan untuk berperilaku sehat. Remaja
perlu memahami bahwa setiap keputusan yang diambilnya akan menghasilkan
konsekuensi yang harus ditanggung seumur hidupnya baik secara fisik, psikis
dan sosial.
Di era globalisasi ini, akses
informasi cukup luas, termasuk informasi tentang berbagai faktor yang
mempengaruhi perilaku beresiko remaja. Oleh karena itu, yang lebih diperlukan
oleh remaja bukan sekedar informasi namun lebih penting bagaimana
mengembangkan cara-cara pengelolaan diri remaja. Secara personal, program
kesehatan remaja dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan pengendalian diri
dan perilaku produktif untuk dapat menghadapi perubahan identitas perannya
sebagai remaja. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri
bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja sebaiknya
mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui
masa remajanya dengan baik, atau juga mereka yang berhasil memperbaiki diri
setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
Selain itu, penting juga
mengkondisikan faktor-faktor di luar diri remaja agar dapat mendukung
kemampuan pengelolaan diri remaja, seperti, seperti: hubungan dengan orang
tua dan teman sebaya. Sebaiknya orangtua juga mau berupaya untuk membenahi
kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan
nyaman bagi remaja. Pola asuh dan komunikasi orang-tua dan anak diupayakan
menjadi lebih berorientasi pada kebutuhan perkembangan remaja, orang-tua akan
berperan sebagai support system bagi si remaja sehingga remaja yang
merasa aman dan diterima orang-tuanya akan lebih mampu menghadapi tantangan
perubahan masa remaja. Dalam hubungan dengan teman sebaya, remaja perlu
mengembangkan ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika sikap dan
perilaku teman sebaya atau komunitas tidak produktif atau bahkan dapat
merugikan diri dan masa depan remaja. Pada umumya, waktu remaja lebih banyak
dihabiskan di sekolah, sehingga lingkungan sekolah juga dapat dipandang
sebagai tantangan dunia remaja. Maka sistim pendidikan di sekolah perlu
menyeimbangkan perkembangan aspek kognitif dan juga aspek kepribadian agar si
remaja lebih mampu mengembangkan keterampilan hidup di sekolah. Lebih lanjut,
aspek demografis juga perlu diperhatikan karena kebutuhan kesehatan
reproduksi remaja di berbagai wilayah di Indonesia juga dapat berbeda karena
dipengaruhi oleh aspek sosial, budaya, serta historis-geografis
(perkotaan-pedesaan). Maka perlu juga dipertimbangkan pembuatan
kebijakan-kebijakan sosial masyarakat yang fokus pada perbaikan keadaan
sosial ekonomi secara mikro dan makro. Secara umum, seluruh uraian ini
menekankan bahwa pengembangan program kesehatan remaja harus selalu berpijak
pada berbagai faktor kontekstual dan aktual remaja yang menjadi target
program kesehatan
Referensi:
Dekovic, M. (1999). Risk and
protective factors in the development of problem behavior during adolescence.
Journal of Youth and Adolescence, 28, 667-685.
|
Kamis, 30 Mei 2013
Remaja dan perilaku beresiko
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar