Jumat, 31 Mei 2013

SIKLUS HIDUP, KESEHATAN, DAN PERAN SOSIAL




SIKLUS HIDUP, KESEHATAN, DAN PERAN SOSIAL



1. Pengantar
 
Salah satu upaya  untuk menjelaskan persoalan-persoalan kesehatan manusia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan siklus hidup.Dari siklus hidup ini,dapat dirinci perkembangan psikologis dan sosiologi serta kebutuhan kesehatan individu tersebut. 
    Asumsi yang dianut dalam wacana ini ,yaitu pertumbuhan dan perkembangan individu akan maksimal serta potensi genetiknya akan berkembang dengan baik jika kepadanya diberikan lingkungan berkualitas,baik dari gizi maupun lingkungan sosialnya.Sehingga pada akhirnya dapat membangun pribadi manusia yang sehat baik secara jasmaniah,emosi,spiritual,sosial,dan ekonomi.
    Dari asumsi tersebut,dapat dirumuskan dan/atau telah mengenai peran-peran sosial yang dikembangkan individu dalam setiap tahap siklus kehidupannya masing-masing.Kalangan ilmuwan psikologi sudah berusaha keras untuk menunjukkan tahap-tahap perkembangan dari setiap tugas perkembangan (development task)psikologis.Berdasarkan temuan saat ini,ternyata dalam setiap tahap perkembangan tersebut ,memiliki resiko kesehatan yang khusus dan peran sosial yang berbeda antara tahap satu dengan tahap lainnya.Oleh karena itu ,memahami peran sosial dan kesehatan individu dapat dipantau dari perspektif siklus hidup individu.
  Pendekatan yang digunakan ini,dikembangkan dari model yang dikembangkan oleh Departemen Kesehatan RI saat menjelaskan tentang kesehatan reproduksi.Bila disederhanakan ,pendekatan siklus yang dikembangkan tersebut dapat diformulasikan ulang sebagai berikut. 





                   Siklus Hidup Individu 
2 Masa Kehamilan   

Kehamilan merupakan sesuatu hal yang membahagiakan,penyebabnya karena mereka akan mendapatkan anggota baru dalam sebuah keluarga.Oleh karena itu,kehamilan ini  kerap kali menjadi perhatian serius bagi anggota keluarga maupun masyarakat.Ada beberapa aspek sosial yang terkait dengan masa kehamilan ini.
Pertama,peran kehamilan dapat dimaknai sebagai peran awal perekat sosial.Dalam penelitian Evi (2005) menyebutkan bahwa perempuan yang cenderung infertile, terancam diceraikan . Oleh karena itu,kehamilan atau lebih khusus lagi kehadiran anak merupakan perekat sosial dalam sebuah masyarakat.
Kedua,tingginya harapan (ekspektasi)suami atau anggota keluarga terhadap bayi yang ada dalam kandungan,menyebabkan tingginya(malahan berlebihannya)perlakuan anggota keluarga terhadap ibu hamil.Oleh karena itu,seorang ibu hamil diposisikan setara dengan orang “sakit’’ , sehongga peran sosialnya dihapuskan dari tanggung jawab si ibu hamil. Sejalan dengan hal ini,meminjam pandangan parson yang mengatakan bahwa peran pasien itu adalah dibebaskan dari tugas-tugas sosial. Akibat dari kondisi seperti ini,ibu hamil mendapat keistimewaan-keistimewaan khusus, baik dari sisi pemanjaan diri , kewajiban sosial , makanan ,dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Ketiga,dalam konteks ini “ngidam”merupakan “instrumen khusus ”yang menjadi alat ukur dalam membangun kewajiban baru orang lain untuk memosisikan ibu hamil sebagai “ ratu dalam kehidupan “.Ketika istrinya ngidam , seorang suami akan berusaha keras untuk memenuhi keinginannya. Kendati pun harus mendapatkan makanan misalnya istri menginginkan makanan yang agak aneh dan sulit padahal waktu itu adalah malam hari, sang suami akan berusaha untuk memenuhinya –perilaku suami tersebut , merupakan perilaku hamil dari sang istri.
Keempat, ada yang berpendapat bahwa bila seorang ibu hamil memiliki kebutuhan makan yang lebih,karena dia mengomsumsi makan untuk dua orang. Sudah tentu, pernyataan ini tepat , Tetapi , reaksi sosial dari kebutuhan ini , banyak ibu hamil yang mewujudkannya dalam bentuk ngemil. Padahal ngemil dengan kebutuhan makan yang cukup adalah berbeda.Artinya , seorang ibu hamil tidak mesti ngemil . Sepanjang kebutuhan asupan gizinya cukup , maka ngemil pun menjadi tidak diperlukan .
Adapun masalah kesehatan yang spesifik dari ibu hamil diantaranya (a) mendapatkan pelayanan antenatal dengan baik dan teratur , (b) memperoleh makanan bergizi dan cukup istirahat , (c) mendapatkan ketenangan  dan kebahagiaan , (d) memperoleh persediaan biaya persalinan dan rujukan kerumah sakit bila terjadi komplikasi .
    Seringnya terjadi kematian pada saat persalinan , lebih banyak disebabkan karena tingginya perdarahan . Selain itu , ada juga penyebab lain yang bisa menimbulkan kematian pada ibu hamil, yaitu adanya 4 terlalu  ( terlalu muda , terlalu tua , terlalu sering , dan terlalu banyak ). Kondisi inikemudian didukung oleh adanya 3 terlambat  ( terlambat mengenali tanda-tanda , terlambat mencapai fasilitas kesehatan , dan terlambat  mendapat pertolongan )
   Faktor-faktor tersebut (4 terlalu dan 3 terlambat ) merupakan masalah sosial yang turut menentukan kesehatan proses persalinan seseorang ibu hamil. Untuk menggenapkan pengetahuan ini, ada beberapa pesan pendukung yang dapat membantu kehamilan dan persalinan yang aman , yaitu:


  1. Mengenal tanda-tanda bahaya pada kehamilan dan persalinan serta mempunyai rencana      pendanaan untuk mendapatkan pertolongan segera oleh dokter atau bidang medis apabila terjadi  masalah.
  2. Semua ibu hamil harus memeriksakan  kehamilan sedikitnya 4 kali dan melahirkan dengan pertolongan dokter atau bidan .
  3. Penyakit dan kematian ibu dan bayi dapat dikurangi jika ibu melahirkan dengan pertolongan dokter atau bidan.
  4. Perawatan kesehatan ibu nifas dan bayi baru lahir merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya kematian pada ibu dan bayinya.
  5. Semua ibu hamil memerlukan makanan bergizi dan istirahat yang cukup
  6. Merokok, minum alkohol , menggunakan narkoba dan bahan beracun lainnya berbahaya bagi kesehatan ibu hamil dan anak kecil. 
  7. Kekerasan fisik pada perempuan dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius .kekerasan pada ibu hamil dapat membahayakan jiwa ibu dan bayi yang dikandungan  
  8. Anak perempuan yang berpendidik an , sehat , dan memiliki pola makan yang baik pada masa kanak-kanak dan remaja akan lebih sedikit memiliki masalah ketika ia hamil dan melahirkan . 
  9. Setiap perempuan mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas terutama masa kehamilan , saat melahirkan , dan selama nifas .
3. Masa Balita
 Dalam masa pertumbuhan , proses tumbuh kembang anak anak balita (1-4 tahun ) dipengaruhi oleh proses pertumbuhan semasa bayi , dan selanjutnya akan mempengaruhi proses tumbuh kembang pada usia sekolah dasar (6-12 tahun ).
Pertama, peran bayi adalah belajar mengenai bahasa tubuh dan isyarat dari luar dirinya .Dalam tahap ini pula , seorang bayi belajar mengenai peran ibu yang baik atau buruk melalui komunikasi fisiknya dalam memberikan kepuasan atas kebutuhan dirinya.
Kedua,peran untuk diakui sebagai bagian dari anggota masyarakat . Seorang bayi sangat membutuhkan setuhan halus anggota keluarga dan perhatian yang saksama dari orang lain. Bahkan dalam kaitan dengan masalah ini , orang yang secara intensif memberikan perlakuan yang baik kepadanya akan dianggap sebagai teman terbaiknya atau untuk kemudian dianggapnya sebagai orang tua.
Pada konteks inilah , orang tuanya memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan pembedaan mengenai identitas dan peran orang per orang yag ada disekitarnya. Dan apabila , khilaf terhadap masalah ini , ada kemugkinan persepsi yang berkembang dalam sebagai orang tua , tanpa memedulikan apakah orang tersebut sebagai pembantu rumah tangga atau kakak-kakaknya sendiri.Kasus ini menjelaskan bahwa intensitas komunikasi dan interaksi memberikan pengaruh terhadap kualitas keterikatan seseorang dengan orang lain.
    Pada masa ini , ada beberapa masalah kesehatan yang perlu diperhatikan misalnya ASI eksklusif dan penyapihan yang layak , tumbuh kembang anak , pemberian makanan dengan gizi seimbang, imunisasi dan manajemen terpadu balita sehat , pencegahan dan penanggulangan kekerasan , serta pendidikan dan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan .

4. Masa Anak-anak
Tahap perkembangan selanjutnya , yaitu memasuki tahap anak-anak . Pada masa ini , pendidikan sosial yang terjadi pada masa balita , memiliki peran nyata dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
    Menurut Sulivan (1892-1949 ) hal yang penting diketahui bahwa fase anak-anak ditandai dengan anak mulai dapat mengucapkan kata-kata hingga timbulnya kebutuhan terhadap kawan bermain.
Peralihan dari fase bayi ke fase anak-anak dipengaruhi oleh perkembangan bahasa yang memungkinkan penggabungan berbagai personifikasi yang berbeda . Timbulnya persepsi tentang jenis kelamin , yaitu mengidentifikasi diri sesuai dengan jenis kelamin dan peranannya yang telah ditentukan masyarakat serta munculnya tugas perkembangan yang utama yaitu belajar berkomunikasi . Ada beberapa peran sosial yang dimunculkan anak-anak dalam kehidupan di masyarakat.
Pertama, dalam mengembangkan kepribadiannya secara utuh setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan ruang main dan ekspresi yang sesuai dengan dirinya. Ketiadaan akses untuk mendapatkan ruang main seperti ini akan berpengaruh terhadap optimasi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam masyarakat .
Kedua,anak adalah tanda sosial dari keluarga, khususnya ibu dan anak. Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan sosial anak , dibaca sebagai bagian dari peran nyata orang tua dalam memberikan pelayanan kepada anak-anaknya . Seorang anak yang kurang gizi , sesungguhnya menjadi bukti lemahnya peran orang tua dalam memberikan asupan yang seimbang dan berkualitas . Demikian pula, bila hadir seorang anak yang sehat dan cerdas dapat menunjukkan diri sebagai tanda sosial bagi keluarganya . Inilah peran anak dalam menunjukkan diri sebagai tanda sosial kepada masyarakat.
Ketiga, anak adalah kandidat dari pemegang amanah harapan atau impian orang tuanya.Berbagai aktivitas orang tua , baik yang terkait dengan masalah ekonomi maupun prestise hidup, diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh anak-anaknya.
Keempat, sebagaimana yang terjadi pada peran bayi, kehadiran anak ini memperkuat nilai solidaritas dalam keluarga.Hubungan suami-istri , akan semakin tinggi dan rekat bila didukung oleh kehadiran anak yag “berkualitas”.
Kelima, memiliki nilai sosial yang tinggi , baik untuk nilai ekonomi maupun ilmu sosial .Kehadiran anak, bagi keluarga merupakan tambahan tenaga kerja baru bagi keluarganya.
Sehubungan dengan ini , perlu diperhatikan pula beberapa masalah kesehatan yang bisa hadir pada fase anak-anak misalnya kesulitan anak untuk makan karena terobsesi ingin main, asupan gizi yang tidak seimbang , rentannya fisik anak terhadap berbagai penyakit seperti polio dan DBD, dan ancaman keracunan makanan akibat dari kebiasaannya makan makanan di luar.

5. Masa Remaja
Pada masa remaja ( adolescens ) , selain pertumbuhan yang cepat (growth spurt), juga timbul tanda-tanda seks sekunder , serta diakhiri dengan berhentinya pertumbuhan , Khususnya pada perempuan , masa ini merupakan masa persiapan utuk menjadi calon ibu.Keberadaan gizi pada masa ini berpengaruh terhadap kehamilan mereka kelak dan juga terhadap bayi yang akan dilahirkannya.
    Aktivitas mereka pun mulai meningkat , sehingga kebutuhan gizinya juga bertambah .Nafsu makan mereka umumnya baik. Mereka sering mencari makanan tambahan atau jajan di luar waktu makan .
Masalahnya apabila jajanan itu berkalori tinggi, kegemukan dengan segala akibatnya bisa terjadi .Maka di antaranya mereka ada yang berusaha untuk mengurangi dampak negatif dari kegemukan atau berusaha menghindari kegemukan . Beberapa masalah kesehatan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan remaja termasuk kesehatan reproduksi kalangan remaja adalah sebagai berukut.
a.      Masalah gizi, yang meliputi anemia atau kurang gizi dan pertumbuhan yang terhambat. Khusus pada kalangan putri, bila pertumbuhan panggul sempit dapat berisiko pada proses melahirkan bayi berat di kemudian hari.
b.      Masalah seks dan seksual , meliputi pengetahuan yang lengkap terhadap mitos dan informasi berbagai hal tentang seks dan seksualitas, penyalahgunaan peran seks dan seksualitas , serta penanganan kehamilan remaja.
c.       Hal yag tidak boleh dilupakan pula , ada munculnya aneka ragam pola atau gaya hidup remaja. Gaya hidup ini , baik yang terkait dengan kesehatan reproduksi maupun dengan pola konsumsi dapat berpengaruh tinggi terhadap masalah kesehatan remaja.
Berdasarkan pertimbangan ini , masa pembinaan kesehatan remaja menjadi sangat penting.Diantaranya melalui pembekalan pengetahuan tentang pertumbuhan fisik , kejiwaan dan kematangan remaja, pendidikan kesehatan reproduksi serta kewajibannya, pergaulan yang sehat di kalangan remaja pendidikan tentang persiapan pranikah , serta pendidikan mengenai kehamilan dan persalinan serta cara pencegahannya.

6. Masa Dewasa
Secara psikologis tahap perkembangan ini dikategorikan sebagai tahap kematangan (maturity) ,dewasa dalam arti pengembangan diri maupun dalam konteks sosial. Seiring dengan hal ini , ada beberapa peran yang dikembangkan dalam masa dewasa.
Pertama, orang dewasa sudah memiliki tugas dan kewajiban diri dalam membangun komunitas , baik dalam skala kecil ( keluarga) , pertemanan , maupun dalam konteks kemasyarakatan. Dengan tugas seperti ini baik seorang perempuan maupun laki-laki., tampil percaya diri dalam mengembangkan komunikasi sosial.
Kedua, dalam masyarakat timur, seorang yang sudah dewasa sudah mulai memikirkan mengenai masa depan, baik masa depan ekonomi maupun masa depan sosialnya. Bekerja dan mengumpulkan kekayaan adalah salah satu upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup dirinya. Sementara mendapatkan keturunan merupakan usaha orang dewasa untuk menjaga keberlangsungan dirinya dan kenyamanan dirinya di hari tua.
Ketiga,pada sisi kesehatan , masa ini termasuk dalam kategori matang. Kendati demikian  , pelu diperhatikan perkembangan kea rah meno-andropause, penyakit degeneratif termasuk  rabun, gangguan mobilitas dan osteoporosis, serta perlu adanya deteksi dini terhadap kanker rahim dan kanker prostat, yang akan muncul diakhir penghujung usia dewasa.
Keempat, dalam sosiologi pada umumnya , telah banyak dikenal bahwa pada masa dewasa ini merupakan masa perkawinan atau berkeluarga . Fungsi keluarga menurut sosiologi yaitu (a) fungsi afeksi , yaitu membangun dan mengembangkan  nilai dan norma masyarakat, (b) fungsi reproduksi , yaitu berfungsi untuk memiliki keturunan , (c) fungsi sosialisasi, arinya keluarga menjadi lembaga belajar pertama dan utama untuk bermasyarakat , (d) fungsi pengaturan seksual, artinya bagi seorang yang sudah dewasa mereka mulai meyakini dan menunjukkan peran seksualnya dihadapan orang lain , (e) fungsi penentuan status , artinya dilingkungan keluarga ini setiap anak- khususnya-mendapat pembelajaran mengenai status diri dan status sosial,(f) fungsi perlindungan , artinya dalam keluarga ini ada upaya untuk membangun perlindungan antara satu dengan yang lainnya,(g) fungsi ekonomis, artinya para anggota keluarga-khususnya orang tua- memiliki peran sosial untuk memberikan layanan kebutuhan ekonomi kepada anggota keluarganya.

 7. Masa Usia Lanjut
Menurut teori Penarikan Diri ( Disengagement Theory) , usia lanjut merupakan proses bergerak secara perlahan dari individu untuk menarik diri dari pesan sosial atau dari konteks sosial. Keadaan ini menyebabkan interaksi individu yang  lanjut  usiamulai menurun , baik dari sisi kualitas maupun kuantitas . Pada usia lanjut sekaligus terjadi triple loss,yaitu (a) kehilangan peran (loss of role), (b) hambatan kontak sosial (restriction of contacts and relationships), dan (c) berkurangnya komitmen (reduced commitment to sosial mores and values)
    Menurut Hardywinoto dan Toni Setiabudhi (2005:112) tidak semua lanjut usia mengeluh macam –macam dan bila ada keluhan yang dikemukakan individu lanjut usia, perlu diinterprestasikan secara berbeda. Karena setiap keluhan tersebut , kendatipun memiliki masalah penyakit yang sama , namun akan muncul secara berbeda bergantung pada kematangan pribadi dan situasi sosial ekonomi lanjut usia masing-masing.Untuk merinci ulang , peran individu usia lanjut ini dapat ditemukan dalam beberapa hal sosial berikut.
Pertama,menjadi lanjut usia memiliki hak untuk menarik diri dari peran-peran sosial.Kewajiban sosial seperti bekerja, bergaul di masyarakat , partisipasi pembangunan merupakan beberapa contoh nyata yang kemudian dilepaskan peran dirinya.
Kedua,memunculkan peran orang lain untuk menunjukkan peran dan kepeduliannya terhadap individu usia lanjut. Kendatipun masih kontroversi, namun sikap dan peran orang lain terhadap lanjut usia ini berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Bagi Negara Barat, mereka lebih banyak mengambil sikap untuk memindahkan peran perhatian kepada lanjut usia kepada pihak ketiga (pemerintah atau lembaga sosial), sedangkan di lingkungan masyarakat Timur(misalnya Indonesia) pemeliharaan orang lanjut usia itu menjadi kewajiban anak-cucunya.
Ketiga,setelah menginjakkan diri pada usia lanjut , seorang individu akan memulai untuk melepaskan hak dan kepemilikannya terhadap berbagai sumber produksi. Hukum waris merupakan hokum pemindah hak secara menyeluruh dari orang lanjut usia (menjelang kematian) kepada generasi berikutnya.
Implikasi dari transisi penyerahan hak dan kepemilikan ini, menyebabkan lahirnya kewajiban “calon penerima” kepemilikan sumber produksi( harta) individu lanjut usia untuk memberikan kewajiban pemeliharaan kepada dirinya. Artinya , selama masih hodup ini, seorang anak cucu yang akan mendapatkan hak waris sesungguhnya memiliki kewajiban untuk memelihara kesehatan individu lanjut usia, baik dari sisi kesehatan jasmaniah, maupun emosi dan spiritualnya.
    Masalah kesehatan lanjut usia , ada dua pandangan yang berbeda dalam menjelaskan fenomena yang sama, yaitu lingkaran kehidupan negatif (negative life cycle) dan lingkaran kehidupan positif (positive life cycle).



           Gambar 13. 2
                                                             Lingkaran Kehidupan Negatif
                                   (Sumber : Hardywinoto dan Tony Setiabudhi, 2005 hlm. 125)

Dalam sudut pandang negative life cycle, individu lanjut usia dipersepsi sebagai individu yang mengalami pengurangan ketahanan fisik, mental dan peran sosial. Dan kemudian anggota keluarga atau masyarakat mencapnya sebagai individu yang sudah memasuki masa kurang produktif dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain.
     Pandangan ini berbeda dengan sudut pandang positive life cycle yang melihat fase lanjut usia sebagai kelanjutan dari peran sosial masyarakat di masyarakat. Dalam lingkaran kehidupan positif, misi utamanya adalah mempertahankan keutuhan dan kesatuan pada lanjut usia. Oleh karena itu, upaya intervensi baik dari sisi medis, sosial medis, sosial, dan pendidikan menjadi sangat penting bagi individu lanjut usia.
     Masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut terutama dirasakan oleh wanita ketika masa usia suburnya berakhir atau ketika mengalami menopause dan kalangan pria pun mengalami ancaman andropause. Menopause adalah keadaan pada wanita yang mengalami penurunan fungsi indung telur, yang berakibat menurunnya produksi hormone estrogen. Keadaan ini antara lain mengakibatkan terhentinya haid untuk selamanya. Usia menopause wanita Indonesia sekitar usia 49 tahun (2000). Sementara andropause adalah penurunan fungsi seksual dan kesuburan laki-laki yang sudah mencapai usia lanjut dan kondisi ini mulai dirasakan oleh laki-laki Indonesia ketika menginjakkan usia pada 55 tahun.







Gambar 13.2 
 Lingkaran Kehidupan Positif
(Sumber : Hardywinoto dan Tony Setiabudhi, 2005, hlm. 125)


8. Masa Menjelang dan Setelah Kematian
Individu yang berada pada fase menjelang kematian ( sakaratul maut) sesungguhnya masih tetap sebagai anggota masyarakat dan bahkan dalam konteks budaya, orang yang sudah meninggal dan dikuburkan pun masih dianggap sebagai bagian dari anggota masyarakat dan berhak untuk mendapatkan peran dan/atau hak sosialnya sendiri.
     Pada sisi lain, Norma W.Rigth (2000:156) merinci ada 6 tahap tanggapan seseorang ketika kehilangan orang yang dicintainya. Tahapan tersebut yaitu (1) terguncang dan menangis, (2) merasa bersalah (3) memusuhi, misalnya memusuhi dokter atau perawat yang tidak mampu menyelamatkannya, (4) melakukan kegiatan dengan gelisah, (5) hilangnya makna-makna kegiatan yang biasa, dan (6) mengidentifikasi diri denga orang yang meninggal, misalnya dengan memunculkan keinginan utuk melanjutkan program dari orang yang meninggal. Granger Westberg memperluas 6 tahap tersebut ke dalam 10 dukacita, yaitu guncangan, pelepasan emosi, depresi dan kesepian, susah, gelisah, perasaan bersalah, perasaan bermusuhan dan dendam, ketidakmampuan melakukan kegiatan yang lazim, harapan, dan perjuangan untuk memperkokoh realitas.
     Engel (1964) mengidentifikasi enam tingkatan berdua, yaitu syok, tidak yakin, mengembangkan kesadaran diri, restitusi, mengatasi kehidupan, idealisasi, dan hasil. Schulz (1978) membagi proses berduka ke dalam tiga fase, yaitu fase awal, pertengahan, dan akhir
Dari beberapa pandangan tersebut, dapat dikemukakan penjelasan yang lebih rinci mengenai tahapan seseorang ketika mendekati ajal (kematian) bahwa terdapat tahapan psikologis yang terjadi.
Pertama, penolakan terhadap kenyataan. Pasien menolak informasi yang diberikan atau penyakit yang sedang diterima saat itu. Penolakan ini ditujukan pula terhadap Tuhan yang dipersepsikan tidak adil terhadap dirinya.
Kedua, mengalami depresi. Informasi dan kenyataan yang diterimanya saat itu menyebabkan dirinya tertekan dan menarik diri dari lingkungan sosial.
Ketiga, setelah adanya komunikasi dan interaksi dengan berbagai pihak muncul sebuah kesadaran baru. Sumber dari kesadaran ini, bisa berasal dari persepsinya mengenai ketidakmampuan diri dan orang lain untuk menyembuhkan atau juga disebabkan karena adanya kesadaran terhadap peran dirinya yang baru. Pada tahap ini, orang yang berada pada tahap fase sakit keras akan berusaha untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Permohonan maaf menjadi bagian nyata dalam budaya masyarakat Timur.
Keempat, dengan kesadaran yang penuh, orang yang sedang sakit keras ini atau menjelang sakaratul maut ini akan memohon izin untuk dilepaskan dari berbagai tanggung jawab sosialnya, baik yang menyangkut masalah kekayaan atau keluarga dan peran sosialnya.
Kelima, setelah melakukan hal tersebut, sampailah pada kerelaan diri untuk memutuskan tanggung jawab diri terhadap diri, keluarga, dan masyarakatnya. Berdasarkan tahapan seperti ini, dapat disimpulkan bahwa kematian merupakan fase pelepasan tanggung jawab diri terhadap diri dan lingkungan sosialnya.
Bagi seseorang perawat atau tenaga medis dan juga anggota keluarganya, memiliki kewajiban khusus dalam menghadapi kematian orang tersebut.
Pertama, setiap orang yang akan ditinggalkan perlu memberikan kerelaannya untuk melepas seluruh tanggung jawab sosial orang yang tengah menghadapi kematian, termasuk melepaskan beban-beban hidup yang lainnya.
Kedua, membantu kelancaran perjalanan individu yang akan menempuh jalan hidup yang baru. Dari sisi agama (Islam) seorang muslim-termasuk perawat atau dokter-dituntut untuk memberikan bimbingan spiritual (talqin mayit) mejelang kematian seseorang.
Ketiga, mayat memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang maksimal, dari mulai penghormatan, pemandian, peribadatan, dan penguburan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam konteks nilai budaya, orang yang sudah meninggal ini pun ternyata masih memiliki hak khusus dalam kehidupan sosial. Misalnya saja, di tanah jawa terdapat tradisi “ sesajen” untuk roh-roh nenek moyang atau para leluhurnya, yang diyakini masih hadir di waktu-waktu tertentu untuk melihat kehidupan para keluarganya.
Bahkan, tradisi tahlilan, empat puluhan (patang puluh) dan seratus hari ( ngatus) setelah kematian merupakan tradisi-tradisi lain yang juga terkait dengan adanya hak orang meninggal untuk mendapat penghormatan dari orang yang ditinggalkannya.

 Penutup
Berdasarkan pemahaman tersebut, pendekatan siklus hidup ini dapat digunakan untukmendeskripsikan fenomena sosial secara umum. Dengan kata lain, siklus dapat dimaknai dari sisi yang berbeda-beda sesuai dengan perspektif yang digunakannya. Dengan sedikit pengembangan penafsiran ke dalam konteks wacana, dapat dilihat padangan Hooyman dan Kiyak (dalam Wan Ahmad, 2000).
Pertama, dari sisi kronologi-astronomis. Siklus hidup dimaknai sebagai perjalanan individu mulai masa kehamilan, kelahiran pada 0 tahun, anak-anak, remaja, sampai kematian menjelang. Ini adalah siklus hidup secara kronologi-astronomik.
Kedua, siklus hidup dilihat dari perkembangan dan perubahan fisik/biologis atau anatomo. Dalam pemahaman ini, yang dimaksud siklus hidup itu lebih diorientasikan pada pertumbuhan dan perkembangan sel-sel biologis dalam diri individu. Dari sudut pandang ini, ada kemungkinan seorang remaja memiliki usia biologis yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena usia sel yang menua dan tidak memiliki siklus pergantian sel yang sehat. Akibatnya, si anak remaja tersebut, kendati masih memiliki usia kronologi-astronomi yang muda namun memiliki sel-biologis yang tua (baca: usia muda tampang tua).
Ketiga, siklus hidup dilihat dari sudut pandang psikologis. Perkembangan hidup individu dilihat dari sisi persepsi dan fungsi-fungsi mental seseorang dalam hidup dan kehidupan. Dalam kategori ini, individu disebut dewasa bila mampu menunjukkan kematangan dalam bersikap, berpikir, dan bertindak. Seorang individu yang menunjukkan ketergantungan yang tinggi dan kurang mampu menunjukkan sikap dewasa dapat disebut sebagai orang yang masih kekanak-kanakan.
Keempat, siklus hidup dimaknai dari sisi sosial, yaitu melihat peran sosial individu di masyarakat. Bila ada individu yang sudah berumur 50 tahun, namun masih belum mampu bersosialisasi dan malah masih belajar berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat, maka dapat dikategorikan sebagai individu yang baru lahir ke dalam masyarakat tersebut.
Dan kematian peran sosial, adalah bila dirinya menarik diri dari situasi dan kemudian hidup dalam kesendiriannya. Maka sesungguhnya, secara sosial dia sudah memasuki tahap kematian sosial atau kegagalan sosial. Beberapa cirri kegagalan sosial dari individu ini, yaitu (1) anggota masyarakat sudah tidak mempertimbangkan kehadiran atau ketidakhadiran dirinya di masyarakat dan (2) sudah tidak mampu menunjukkan peran nyata dalam proses komunikasi atau interaksi sosial. Maka orang tersebut sudah mengalami kematian atau kegagalan sosial.
 sumber: 
Momom, Sudarma.2008.Sosiologi untuk kesehatan.Jakarta selatan:Salemba medika